TRENDING

Kamis, 04 Desember 2014

Menjemput Kematianku


Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Shubuh mengumandang memanggil untuk menghadap Sang Maha Kuasa. Tepat 03.59 WIB, aku siap menghadapNya. Selesai dari menghadapNya, hatiku riuh tiba-tiba saja bertanya-tanya. "Ya Allah, kapan Engkau benar-benar memanggilku? Bagaimana caranya Engkau memanggilku?"
Aku tak ingin menerka-nerka, sungguh bukan kuasaku. Aku tetap ingin berprasangka baik. Bahwa kematian bisa datang pada siapa saja, dimana saja, kapan saja, dan Allah Maha Mengetahui Yang Terbaik. Sekarang yang harus aku khawatirkan, bagaimana aku harus menjemput kematianku?

Sama halnya dengan jodoh dan rezeky, kematian. Allah sudah mempersiapkannya untuk ku, sudah tertulis di Lauhul Mafuz jauh sebelum aku lahir. Aku hanya tinggal menjemputnya.

Aku takut, persiapanku untuk menjemputnya belum cukup. Bagaimana esok ketika kematian itu datang padaku, apa yang sudah ku persiapkan? Sementara aku di dunia saja masih seperti ini. Kurang, sangat kurang persiapanku.

Aku jadi teringat, dulu mana pernah aku mengingat pemutus segala nikmat. Betapa egoisnya aku dulu, tak sedetik pun aku mengingat kematian yang siap menghadang. Lihat sekarang, aku menyesal. Aku telah membuang 21 tahun tanpa mengingat mati, ya Allah betapa bodohnya hambaMu ini.

Ya Allah, bantu aku. Air mata terus membasahi mukena yang menemaniku, seakan mukena ini tahu bahwa aku sedang tak ingin sendiri.

Berkali-kali aku istigfar, memasrahkan diri. Bahwa kematian tak akan menungguku tua renta, maka aku haruslah memperbaiki diri, memperbaiki akhlak, beramal tanpa kenal lelah. Ini jalanku untuk menjemput kematianku.

Tanpa mengingat mati, hidupku begitu gersang. Aku hidup berkecukupan, dengan banyak kenikmatan melingkariku. Namun, tetap saja ada yang kurang. Ada sesuatu yang kurang. Ah ya, kematian.

Air mataku terus mengalir, aku kembali beristigfar. Memohon ampunan, bahwa keabadian hanya ada padaNya. Pada Allah saja.

Aku sekarang sedang menjemput kematian, menjemput usainya kenikmatan duniawi. Aku hanya ingin ketika kelak aku menghadapi sakaratul mautku, perkenankan aku ya Allah, perkenankan aku mengucap kalimat tauhidMu, perkenankan aku menghadapMu lengkap dengan hijabku dalam keadaan usai berwudhu. Indahnya...

 
Back To Top