Sukses mendidik anak itu dinilai dari mana sih? Apakah seseorang harus memiliki anak hingga gelar S3? Apakah sukses medidik anak bahwa ketika usianya sudah 18 tahun masih kuliah di biayai orang tua? Apakah ketika usia 18 tahun, hidup sepenuhnya masih tergantung dengan orang tua? Apakah dengan anaknya diterima di perguruan tinggi negeri yang terkenal maka dibilang sukses?
Sementara, si anak masih ketergantungan dengan orang tua. Dikit-dikit "mah, spp mah. Duit bulanan mah, motor rusak mah, uang kost mah" mamah mamah mamah terus. Padahal, usia sudah baligh. *Ngenesnya tuh di jantung.
Lalu, si anak juga tak banyak hafalan suratnya, bahkan lupa. Ya, yang penting sholat, begitu? Itu yang dinamakan sukses mendidik anak? Versi apa? Versi dunia.
Coba kita lihat, dan cermati versi akhirat. Apa yang orang tua didik untuk kali pertamanya?
Sejak dalam kandungan, si (calon) anak ini sudah dididik, selalu diperdengarkan murottal, ibunya sering bertilawah, membaca buku, bersedekah, sholat sunnah makin mantap.
Ketika si anak lahir, ibunya selalu mendengar murottal selagi menyusui sambil melihat wajah si anak, berdoa setiap saat agar si anak mengingat bahwa dunia bukanlah segalanya.
Di usianya 1 tahun , si anak sudah dibiasakan menggunakan hijab, bagaimana cara melindungi dirinya, dibiarkan melihat bagaimana orangtuanya sholat, sehingga si anak sudah tak asing dengan cara orangtuanya mencintai Allah.
Masa masa gold period, si anak mulai belajar doa sehari-hari, menghafal surat-surat pendek, sehingga menjadi hafidz/hafidzoh di usia yang masih sangat amat kecil.
Masa sekolah, dihabiskan anaknya untuk mengejar akhirat saja dahulu, karena dunia akan mengikuti. Ketika si anak remaja, ia mulai paham bagaimana cara mencintai Allah dan Rasul, menghormati orang tuanya, bagaimana caranya membahagiakan orang tua, dia pikirkan sendiri.
Kuliah menggunakan biaya sendiri, berusaha sendiri. Dia bisa saja meminta orang tuanya, namun itu tidak diindahkannya. Karena baginya, usia baligh adalah masa-masa emas belajar mandiri. Berdiri di kaki sendiri, menyadari bahwa tak selamanya orang tua bersama kita, sudah waktunya ia membahagiakan orang tua.
Kemudian, dunia mengikutinya. Sukses di akhirat membuat dia lihai melihat kebaikan dan keburukan dunia, bagaimana di usia remaja ia sukses dan masa tua ia produktif.
Bagaimana? Masih berfikir bahwa sukses mendidik anak di dunia akan sukses juga di akhirat? Bahkan mereka yang mengikuti akhirat pun, tak serta merta memasuki surga. Lalu yang dunia bagaimana ?
Saya memang belum berkeluarga, saya hanya sering melihat, mendengar, belajar, dari mereka yang mengutamakan pendidikan anak untuk ummat.
Kita mungkin tak bisa memilih ingin orang tua seperti apa, tapi kita bisa memilih ingin menjadi orang tua seperti apa kelak.
Wallahu a'lam
Ocnatias Eka Saputri
6 Shafar 1436 H
Posting Komentar