TRENDING

Selasa, 29 Januari 2013

Mhyastenia Gravis



j
.    A. PENGERTIAN
            Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya deflsiensi dari acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibody AchR pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus, lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek menguntungkan dari plasmaparesis (Engel,1984).
            Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard, 2008). Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synoptic transmission atau pada neuromuscular junction (Ngoerah, 1991).
            Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun (Ngoerah, 1991; Howard, 2008).

B.     ETIOLOGI
1.      Gagalnya transmisi impuls saraf di tautan neurolomuscular, yang mungkin disebabkan oleh respon autoimun, pelepasan asetikolin yang tidak efektif atau respons serat otot yang tidak cukup terhadap asetikolin.
2.      Penyebab gangguan ini tidak diketahui, tetapi kemungkin terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi autoimun. Kontraksi otot mengalami kerusakan menyebabkan kelemahan otot.

C.     KLASIFIKASI MYATHENIA GRAVIS
Menurut My asthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Klas I, adanya kelemahan otot otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
2.      Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
3.      Klas lIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4.       Klas lIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
5.      Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
6.      Klas IIIa, mempengaruhi otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
7.       Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
8.      Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mcngalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
9.       Klas IVa, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
10.   Klas IVb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pemapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita mcnggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
11.   Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mckanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tarnpak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemcriksaan, tonus otot lampaknya agak menurun.
D.    TANDA DAN GEJALA
1.      Di stadium awal : otot tertentu mudah letih, khusunya otot mata dan kelopak mata dan otot yang membantu menelan dan berbicara
2.      Otot skeletal melemah dan letih
3.      Otot lemah sepanjang hari, terutama setelah berkativitas
4.      Fungsi otot membaik jika penderita beristirahat sebentar
5.      Fungsi otot benar-benar lenyap (kadang-kadang)
6.      Pelemahan otot semakin mendalam saat mens dan akibat stress emosional, paparan sinar matahari atau dingin dalam waktu lama, atau infeksi
7.      Penutupan mata lemah, ptosis (jatuhnya kelopak mata) dan diplopia (penglihatan ganda)
8.      Suara parau atau berubah (disfonia)
9.      Sulit mengunyah dan menelan, beresiko tersedak
10.  Kelopak mata menjuntai, yang menyebabkan gangguan penglihatan
11.  Kepala seperti mengapung akibat otot leher melemah
12.  Volume tidal dan kapasitas vital berkurang akibat otot respiratorik melemah
13.  Jalan napas dan ventilasi mekanis darurat akibat otot respiratorik sangat lemah

E.     PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Howard, 2008).
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti- AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata (Lewis ,1995)
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai "penyakit terkait sel B", dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik (Howard, 2008).
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit al'fa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor reseptor asetilkolin yang baru disintesis (Howard, 2008).

F.      KOMPLIKASI
1.      Krisis miasnetik , yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yangka yang memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot inter kostal menjadi lumpuh ,dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan,atau selama kehamilan .
2.      Krisis kolinergik adalah respons toksik yang kadang dijumpai pada penggunan obat antikolinesterase yang terlalu banyak. Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia. Individu dapat mengalami mual, muntah, berkeringat, dan diare. Gawat napas dapat terjadi.




G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Menurut Ngurah (1991) untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
a.        Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
b.      Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

2.      Menurut Ngurah (1991) untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:
a.       Uji Tensilon (edrophonium chloride), tmtuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata 28 yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah hams diperhatikan dengan sangat seksama, karcna efektivitas tensilon sangat singkat.
b.      Uji Prostigmin (neostigmw), pada tcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 1/2 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
c.       Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prasiigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
3.      Pemeriksaan Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibody Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia ocular murni menunjukkan hasil tes antiasetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody(Howard, 2008). Menurut (Howard, 2008) rata-rata titer antibody pada pemeriksaan antiasetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut: Klasifikasi : R = remission, I = ocular onlv, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe.
4.      Imaging Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negative belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita denganusia tua. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untu mencaripenyebab defisit pada sarafotak.
5.      Pendekatan Elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular.

H.    DIAGNOSA
1.      Ketidakefektifan pola napas b.d kelemahan otot pernapasan
2.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efekktif.
3.      Risiko tinggi aspirasi b.d penurunan control tersedak dan batuk efektif
4.      Gangguan pemenuhan nutrisi b.d ketidakmampuan menelan
5.      Kerusakan mobilitas b.d kelemahan otot-otot volunteer
6.      Gangguan aktivitas hidup sehari – hari b.d kelemahan fisik umum, keletihan
7.      Gangguan komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan control tonus otot fasial atau oral
8.      Gangguan citra diri b.d adanya ptosis, ketidamkmampuan komunikasi verbal

I.        INTERVENSI
1.      Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot pernafasan
a.       Tujuan : pola nafas efektif
b.      Kriteria hasil : frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi nafas terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal
c.       Intervensi :
1)      Kaji kemampuan ventilasi
2)      Kaji kualitas, ffrekuensi dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi
3)      Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk
4)      Observasi TTV
2.      Gangguan aktifitas hidup sehari hari b.d kelemhan fisik umum dan keletihan
a.       Tujuan :
Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan udem inflamasi dan memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
b.      Kriteria hasil : Frekunesi napas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit, dan kemampuan batuk efektif dapat optimal, tdk ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh.
c.       Intervensi:
1)      Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
2)      Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
3)      Evaluasi kemampuan aktivitas motorik
3.      Gangguan komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan control tonus otot fasial atau oral
a.       Tujuan : Klien dapat menunjukan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
b.      Kriteria hasil : Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
c.       Intervensi :
1)      Kaji kemampuan komunikasi klien
2)      Lakukan metode berkomunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien
3)      Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel khusus bila perlu
4)      Antisipasi dan bantu kebutuhan klien
5)      Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “idak” dan perhatikan respons klien
6)      Kolaborasi : konsul ke ahli terapi bicara
4.      Gangguan citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
a.       Tujuan : citra diri klien meningkat
b.      Kriteria hasil : mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negative
c.       Intervensi :
1)      Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
2)      Indentifikasi arti dari khilangan atau disfungsi pada klien
3)      Catat ketika klien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan menyatakan inilah kematian
4)      Pernytaan pengakuan terhadap penolakan tubuh, mengingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat
5)      Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dandan memperbaiki kebiasaan
6)      Anjurkan orang terddekat untuk mengizikan klien melakukan hal untuk dirinya sebanyak-banykanya
7)      Dukung prilaku atau sperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi
8)      Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi, letargi dan witdrwal
9)      Kolaborasi rujukan pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi

J.       PENATALAKSANAAN MEDIS
1.      Medikamentosa
a.       Piridostimin (tablet 60mg). dosis awal 4x 15 mg (1/4 tablet), setelah 2 hari dapat ditingkatkan 4x30 mg; jika perlu dapat ditingkatkan menjadi 4x60 mg. dosis maksimum 6 tablet/hari (360 mg/hari). Jika tidak berespons dapat diberi kortikosteroid ataupun azathioprine. Bila usia pasien <45 achr="" dapat="" dengan="" dini.="" dipertimbangkan="" o:p="" tahun="" timektomi="">
b.      Kortikosteroid (prednisolon) dapat diberikan selang sehari. Dosis pertama 10 mg (1 kali pagi hari), ditingkatkan 10 mg sampai mencapai 1,5 mg/kg/selang sehari atau misalnya 100 mg/hari. Dosis ini mempertahankan sampai pasien mengalami remisi (beberapa bulan). Dosis dapat dikurangi per 10 mg setiap 3-4 minggu sampai 20 mg/selang sehari. Dosis kemudian dikurangi 1 mg setiap bulan dan diberikan kembali dengan dosis tinggi bila terlepas.
c.       Azathioprin dapat diberikan dengan dosis awal 2x25 mg. dosis dapat ditingkatkan 25 mg/hari sampai mencapai 2,5 mg/kg/hari. Sebelum terapi, sebaiknya dilakukan evaluasi darah rutin (hitung jenis) dan fungsi hati. Evaluasi ini dilakukan setiap minggu selama 8 minggu, kemudian setiap 3 bulan.
2.      Timektomi
Timus memproduksi T-limfosit yang berperan dalam system imun. Namun pada  penderita MG, kelenjar timus dapat mengalami peningkatan jumlah sel (hyperplasia timus) atau tumor ((timoma), sehingga merangsang pembentukan antibody berlebihan. Tindakan timektomi terbukti memperbaiki kondisi klinis pasien MG.
3.      Plasmaferesis (plasma exchange)
Plasmaferesis terbukti efektif untuk terapi jangka pendek pada pasien MG dengan eksaserbasi akut. Pada plasmaferesis, dilakukan penggantian darah dengan sel darah merah, sehingga plasma dibuang dan diganti dengan suplemen, yaitu human albumin dan normal salin.
4.      Intravenous immunoglobulin (IVIg)
Mekanisme kerja pada pemberian IVIg γ-globulin adalah mengurangi kemotaksis atau aktivitas makrofag.














DAFTAR PUSTAKA

1.      Wolters Kluwer Health. 2008. Nursing :Memahami Berbagai Macam penyakit. Jakarta : PT INDEKS
2.      Fahrun N .Vol. 5 No. 1 Februari 2010. Health Science : Jurnal Ilmu Kesehatan (Myasthenia Gravis). Surabaya : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya
3.      Mutaqqin A. 2008. Askep Klien dengan gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
4.      Dewanto G, dkk. 2007. Panduan Praktis Diagnosa dan Tata Lakasana Penyakit Saraf. Jakarta :
5.      Elizabet J Corwin. 2009. Edisi 3. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGCs

 
Back To Top