j
. A. PENGERTIAN
Miastenia gravis adalah salah satu
karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir
telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia pada kelinci yang
diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia
yang menderita miastenia gravis, ditemukan adanya deflsiensi dari acetylcholine
receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977,
karakteristik autoimun pada miastenia gravis dan peran patogenik dari antibodi
AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian. Hal ini meliputi
demonstrasi tentang sirkulasi antibody AchR pada hampir 90% penderita miastenia
gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan
efek menguntungkan dari plasmaparesis (Engel,1984).
Miastenia gravis adalah suatu
kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif
pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard, 2008). Bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synoptic transmission atau pada
neuromuscular junction (Ngoerah, 1991).
Miastenia gravis merupakan penyakit
yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit
ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang
menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada
usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini
sering terjadi pada usia 42 tahun (Ngoerah, 1991; Howard, 2008).
B. ETIOLOGI
1. Gagalnya
transmisi impuls saraf di tautan neurolomuscular, yang mungkin disebabkan oleh
respon autoimun, pelepasan asetikolin yang tidak efektif atau respons serat
otot yang tidak cukup terhadap asetikolin.
2. Penyebab
gangguan ini tidak diketahui, tetapi kemungkin terjadi karena gangguan atau
destruksi reseptor asetilkolin pada persimpangan neoromuskular akibat reaksi
autoimun. Kontraksi otot
mengalami kerusakan menyebabkan kelemahan otot.
C. KLASIFIKASI
MYATHENIA GRAVIS
Menurut My asthenia Gravis Foundation of
America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Klas
I, adanya kelemahan otot otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
2. Klas
II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
3. Klas
lIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4. Klas lIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal,
otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot otot
aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
5. Klas
III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot
lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
6. Klas
IIIa, mempengaruhi otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
7. Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal,
otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
8. Klas
IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mcngalami kelemahan dalam derajat
yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai
derajat.
9. Klas IVa, secara predominan mempengaruhi
otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan.
10. Klas IVb, mempengaruhi otot orofaringeal,
otot-otot pemapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otototot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat
ringan. Penderita mcnggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
11. Klas V, penderita terintubasi, dengan atau
tanpa ventilasi mckanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis
dan strabismus tidak akan tarnpak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau
dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemcriksaan,
tonus otot lampaknya agak menurun.
D. TANDA
DAN GEJALA
1. Di
stadium awal : otot tertentu mudah letih, khusunya otot mata dan kelopak mata
dan otot yang membantu menelan dan berbicara
2. Otot
skeletal melemah dan letih
3. Otot
lemah sepanjang hari, terutama setelah berkativitas
4. Fungsi
otot membaik jika penderita beristirahat sebentar
5. Fungsi
otot benar-benar lenyap (kadang-kadang)
6. Pelemahan
otot semakin mendalam saat mens dan akibat stress emosional, paparan sinar
matahari atau dingin dalam waktu lama, atau infeksi
7. Penutupan
mata lemah, ptosis (jatuhnya kelopak mata) dan diplopia (penglihatan ganda)
8. Suara
parau atau berubah (disfonia)
9. Sulit
mengunyah dan menelan, beresiko tersedak
10. Kelopak
mata menjuntai, yang menyebabkan gangguan penglihatan
11. Kepala
seperti mengapung akibat otot leher melemah
12. Volume
tidal dan kapasitas vital berkurang akibat otot respiratorik melemah
13. Jalan
napas dan ventilasi mekanis darurat akibat otot respiratorik sangat lemah
E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme imunogenik memegang peranan
yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung
hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain (Howard, 2008).
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan
bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan
konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya
otot penderita dengan miatenia gravis.
Tidak diragukan lagi, bahwa antibody
pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot
pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor
(anti- AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata (Lewis ,1995)
Mekanisme pasti tentang hilangnya
toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia
gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai
"penyakit terkait sel B", dimana antibodi yang merupakan produk dari
sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis
miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap
imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia
timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik (Howard, 2008).
Pada pasien miastenia gravis, antibodi
IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi
secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit al'fa
juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin
pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor
asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan
ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang
dapat digunakan untuk insersi reseptor reseptor asetilkolin yang baru disintesis
(Howard, 2008).
F. KOMPLIKASI
1. Krisis
miasnetik , yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yangka
yang memuncak pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot inter
kostal menjadi lumpuh ,dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress
seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan,atau selama kehamilan .
2. Krisis
kolinergik adalah respons toksik yang kadang dijumpai pada penggunan obat antikolinesterase
yang terlalu banyak. Status hiperkolinergik dapat terjadi yang ditandai dengan
peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, dan bradikardia. Individu dapat
mengalami mual, muntah, berkeringat, dan diare. Gawat napas dapat terjadi.
G. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1. Menurut
Ngurah (1991) untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut:
a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan
suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah
dan menjadi kurang terang.
b. Penderita
ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan
timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan
kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
2. Menurut
Ngurah (1991) untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan
beberapa tes antara lain:
a. Uji
Tensilon (edrophonium chloride), tmtuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon
secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8
mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata 28 yang memperlihatkan
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah hams diperhatikan
dengan sangat seksama, karcna efektivitas tensilon sangat singkat.
b. Uji
Prostigmin (neostigmw), pada tcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 1/2 mg).
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.
c. Uji
Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan
3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain
akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prasiigmin,
agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
3. Pemeriksaan
Laboratorium Anti-asetilkolin reseptor antibody Hasil dari pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang
postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan
50% dari penderita dengan miastenia ocular murni menunjukkan hasil tes
antiasetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia
gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody(Howard, 2008).
Menurut (Howard, 2008) rata-rata titer antibody pada pemeriksaan
antiasetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada
tabel berikut: Klasifikasi : R = remission, I = ocular
onlv, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe,
IV = chronic severe.

4. Imaging
Chest
x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa
pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negative belum tentu
dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan
chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita denganusia tua. MRI pada otak dan orbita sebaiknya
tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan
untu mencaripenyebab defisit pada sarafotak.
5. Pendekatan
Elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular.
H. DIAGNOSA
1. Ketidakefektifan
pola napas b.d kelemahan otot pernapasan
2. Ketidakefektifan
bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi mucus dan penurunan kemampuan
batuk efekktif.
3. Risiko
tinggi aspirasi b.d penurunan control tersedak dan batuk efektif
4. Gangguan
pemenuhan nutrisi b.d ketidakmampuan menelan
5. Kerusakan
mobilitas b.d kelemahan otot-otot volunteer
6. Gangguan
aktivitas hidup sehari – hari b.d kelemahan fisik umum, keletihan
7. Gangguan
komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan
neuromuscular, kehilangan control tonus otot fasial atau oral
8. Gangguan
citra diri b.d adanya ptosis, ketidamkmampuan komunikasi verbal
I. INTERVENSI
1. Ketidakefektifan
pola nafas b.d kelemahan otot pernafasan
a. Tujuan
: pola nafas efektif
b. Kriteria
hasil : frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, bunyi nafas
terdengar jelas, respirator terpasang dengan optimal
c. Intervensi
:
1) Kaji
kemampuan ventilasi
2) Kaji
kualitas, ffrekuensi dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap perubahan yang
terjadi
3) Baringkan
klien dalam posisi yang nyaman dalam posisi duduk
4) Observasi
TTV
2. Gangguan
aktifitas hidup sehari hari b.d kelemhan fisik umum dan keletihan
a. Tujuan
:
Infeksi
bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan udem inflamasi dan
memungkinkan penyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minor yang
tidak memberikan dampak pada individu yang memiliki paru-paru normal, dapat
berbahaya bagi klien dengan PPOM.
b. Kriteria
hasil : Frekunesi napas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90 x/menit, dan
kemampuan batuk efektif dapat optimal, tdk ada tanda-tanda peningkatan suhu
tubuh.
c. Intervensi:
1) Kaji
kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
2) Atur
cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
3) Evaluasi
kemampuan aktivitas motorik
3. Gangguan
komunikasi verbal b.d disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan
neuromuscular, kehilangan control tonus otot fasial atau oral
a. Tujuan
: Klien dapat menunjukan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
b. Kriteria
hasil : Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi,
klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
c. Intervensi
:
1) Kaji
kemampuan komunikasi klien
2) Lakukan
metode berkomunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien
3) Beri
peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel
khusus bila perlu
4) Antisipasi
dan bantu kebutuhan klien
5) Ucapkan
langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan
jawaban “ya” atau “idak” dan perhatikan respons klien
6) Kolaborasi
: konsul ke ahli terapi bicara
4. Gangguan
citra diri b.d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
a. Tujuan
: citra diri klien meningkat
b. Kriteria
hasil : mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang
situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri
terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negative
c. Intervensi
:
1) Kaji
perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
2) Indentifikasi
arti dari khilangan atau disfungsi pada klien
3) Catat
ketika klien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan
menyatakan inilah kematian
4) Pernytaan
pengakuan terhadap penolakan tubuh, mengingatkan kembali fakta kejadian tentang
realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol
sisi yang sehat
5) Bantu
dan anjurkan perawatan yang baik dandan memperbaiki kebiasaan
6) Anjurkan
orang terddekat untuk mengizikan klien melakukan hal untuk dirinya
sebanyak-banykanya
7) Dukung
prilaku atau sperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas
rehabilitasi
8) Monitor
gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi, letargi dan witdrwal
9) Kolaborasi
rujukan pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi
J. PENATALAKSANAAN
MEDIS
1. Medikamentosa
a. Piridostimin
(tablet 60mg). dosis awal 4x 15 mg (1/4 tablet), setelah 2 hari dapat
ditingkatkan 4x30 mg; jika perlu dapat ditingkatkan menjadi 4x60 mg. dosis
maksimum 6 tablet/hari (360 mg/hari). Jika tidak berespons dapat diberi
kortikosteroid ataupun azathioprine. Bila usia pasien <45 achr="" dapat="" dengan="" dini.="" dipertimbangkan="" o:p="" tahun="" timektomi="">45>
b. Kortikosteroid
(prednisolon) dapat diberikan selang sehari. Dosis pertama 10 mg (1 kali pagi
hari), ditingkatkan 10 mg sampai mencapai 1,5 mg/kg/selang sehari atau misalnya
100 mg/hari. Dosis ini mempertahankan sampai pasien mengalami remisi (beberapa
bulan). Dosis dapat dikurangi per 10 mg setiap 3-4 minggu sampai 20 mg/selang
sehari. Dosis kemudian dikurangi 1 mg setiap bulan dan diberikan kembali dengan
dosis tinggi bila terlepas.
c. Azathioprin
dapat diberikan dengan dosis awal 2x25 mg. dosis dapat ditingkatkan 25 mg/hari
sampai mencapai 2,5 mg/kg/hari. Sebelum terapi, sebaiknya dilakukan evaluasi
darah rutin (hitung jenis) dan fungsi hati. Evaluasi ini dilakukan setiap
minggu selama 8 minggu, kemudian setiap 3 bulan.
2. Timektomi
Timus memproduksi
T-limfosit yang berperan dalam system imun. Namun pada penderita MG, kelenjar timus dapat mengalami
peningkatan jumlah sel (hyperplasia timus) atau tumor ((timoma), sehingga
merangsang pembentukan antibody berlebihan. Tindakan timektomi terbukti
memperbaiki kondisi klinis pasien MG.
3. Plasmaferesis
(plasma exchange)
Plasmaferesis terbukti
efektif untuk terapi jangka pendek pada pasien MG dengan eksaserbasi akut. Pada
plasmaferesis, dilakukan penggantian darah dengan sel darah merah, sehingga
plasma dibuang dan diganti dengan suplemen, yaitu human albumin dan normal
salin.
4. Intravenous
immunoglobulin (IVIg)
Mekanisme kerja pada pemberian IVIg
γ-globulin adalah mengurangi kemotaksis atau aktivitas makrofag.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Wolters Kluwer Health. 2008. Nursing
:Memahami Berbagai Macam penyakit. Jakarta : PT INDEKS
2.
Fahrun N .Vol. 5 No. 1 Februari 2010. Health Science : Jurnal Ilmu Kesehatan
(Myasthenia Gravis). Surabaya : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surabaya
3.
Mutaqqin A. 2008. Askep Klien dengan gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba
Medika
4.
Dewanto G, dkk. 2007. Panduan Praktis Diagnosa dan Tata Lakasana
Penyakit Saraf. Jakarta :
5.
Elizabet J Corwin. 2009. Edisi 3. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGCs
Posting Komentar