Pengantar Sampai saat ini dan bahkan sampai nanti umat Islam meyakini bahwa ajal kematian seseorang sudah ditentukan waktunya oleh Allah SwT, manusia tidak memiliki hak kewenangan untuk mengundur atau memajukan sedikit-pun. Allah berfirman dalam surah al-An’am 6: 2 هو الذى خلقكم من طين ثمّ قضى أجلاً وأجل مسـمى عنده ثمّ أنتم تمترون Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan berbagai peralatan canggih di bidang medis, seperti mesin pemacu jantung. Alat ini terkesan mampu memperlambat umur seseorang. Contoh, seorang pasien yang jantungnya lemah dengan bantuan mesin pemacu jantung masih bisa mampu bertahan hidup. Contoh lain, pasien dengan batang otak sudah mati menurut pemeriksaan dokter masih bisa bernafas dengan bantuan mesin pemacu jantung. Dalam dunia kedokteran, orang yang batang otaknya sudah mati tidak mungkin lagi bisa disembuhkan, tetapi dengan peralatan tersebut paling tidak nafasnya masih bisa dipertahankan untuk jangka waktu tertentu. Pernafasan pasien tersebut amat sangat tergantung pada mesin pemacu jantung, karena begitu mesin dilepas nafas pasien berhenti. Persoalannya adalah kapan seseorang bisa dinyatakan mati secara meya-kinkan. Apakah saat batang otak mati (tidak berfungsi), atau saat dilepas mesin pemacu jantung. Kalau mati ditentukan oleh lepas tidaknya mesin pemacu jantung, maka terkesan kematian bisa diprogram atau bisa direkayasa. Padahal, ajal kematian seseorang sudah diyakini ditentukan oleh Allah swt. Dengan demikian, keyakinan umat Islam tentang ajal menjadi terusik oleh kehadiran peralatan canggih di bidang medis. Makalah ini akan berbicara tentang ajal kematian ditinjau dari sudut pan-dang ajaran Islam. Pengertian Mati Ada dua kata yang memiliki pengertian mati, yaitu maut dan wafat. Maut dalam bahasa Indonesia memiliki kesamaan dengan kata mati. Mati adalah la-wan hidup. Menurut etimologi, mati adalah سـكـون (diam). Segala sesuatu yang diam adalah mati. Dalam keseharian orang Arab, kata mati digunakan untuk makna سـكـون (diam). Mati berlaku pada segala sesuatu yang hidup: 1. Hilangnya القوة النامية (daya tumbuh) yang ada pada tetumbuhan dan binatang, seperti firman Allah dalam surah al-Rum 30: 19 يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي ويحي الأرض بعد موتها وكذلك تخرجون Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur). 2. Hilangnya القوة الحسـية (daya inderawi) seperti dalam Maryam 19: 23 يا ليتنى متّ قبل هذا Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini ... 3. Hilangnya القوة العاقلة (daya nalar), seperti dalam al-An’am 6: 122 اومن كان ميتا فأحييناه Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan ... Dan dalam al-Naml 27: 80 إنك لا تسـمع الموتى Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar ... 4. Sedih dan takut yang menghimpit kehidupan, seperti dalam Ibrahim 14: 17 ويأتيه الموت من كل مكان وما هو بميت dan datanglah maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati; 5. Tidur, seperti dalam al-Zumar 39: 42 والتى لم تمت فى منامها dan (memegang) jiwa (orang) belum mati di waktu tidurnya. Tidur itu mati ringan, sedang maut itu tidur berat. Kesamaan tidur dan mati adalah roh ditahan oleh Allah sehingga dalam dua keadaan itu tubuh diam tidak responsif. Perbedaan antara keduanya adalah roh orang tidur dikembalikan ke dalam tubuhnya sampai batas waktu yang ditentukan sehingga yang bersangkutan bisa bangun kembali, sedang pada orang mati roh itu ditahan tidak dikembalikan lagi ke dalam tubuhnya (al-Zumar 39: 42). Menurut terminologi, mati bisa dimaksudkan untuk berbagai hal. Kalau dikaitkan dengan manusia, biasanya difahami berpisahnya roh dari jasad (tubuh) manusia. Jasad disebut mati setelah roh lepas dari padanya. Artinya, jasad itu diam tidak bergerak dan tidak merespons sedikitpun getaran dari luar. Tetapi menurut ayat-ayat di atas, seseorang yang kehilangan daya tumbuh, daya inderawi dan daya nalar juga bisa disebut mati walaupun jasadnya masih bernafas, karena sebenarnya dia telah kehilangan kemanusiaannya. Kata yang kedua adalah wafat. Wafat sama dengan mati, yaitu suatu keadaan di mana Allah telah menahan/memegang nafs-nya. Dalam Mukhtār al-Shihhah juga dikatakan bahwa apabila Allah menahan/memegang roh seseorang, maka orang itu disebut wafat atau mati. Menurut sebagian ulama lainnya dikatakan bahwa, seseorang disebut mayit karena masa waktu (berupa bilangan hari, bulan dan tahun) yang dimilikinya untuk hidup di dunia ini sudah dilengkapkan dan disempurnakan atau sudah dibayarkan dan ditunaikan. Al-Zumar 39: 42 الله يتوفى الأنفس حين موتها والتى لم تمت فى منامها فيمسـك التى قضى عليها الموت ويرسـل الأخرى الى أجل مسـمى، إن فى ذلك لآيات لقوم يتفكرون Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Al-Thaba’thaba’i (1991: VII/269) menafsirkan ayat di atas bahwa wafat ada-lah menahan sesuatu atas dasar pelunasan dan penyempurnaan. Wafat jika dikaitkan dengan roh berarti menahan roh dari badan. Artinya, putus hubungan roh dengan badan, baik hubungan bertindak maupun hubungan pengaturan (managerial). Menurut beliau, yang dimaksud kematian-nya dalam ayat di atas adalah kematian jasad/tubuhnya. Pengertian mati dengan kata maut menekankan pada aspek keberadaan tubuh yang membujur kaku (diam) karena terlepas dari roh. Sedang dengan menggunakan kata wafat menekankan pada aspek pemenuhan jatah waktu roh pada diri seseorang. Roh yang berada pada diri seseorang ditahan oleh Allah karena sudah habis masa kontraknya yang kemudian disebut mayit. Ajal Manusia Dalam Lisān al-‘Arab (Ensiklopedi Arab), ajal adalah batas waktu kematian seseorang. Dalam surah al-An’am 6: 2 Allah berfirman: هو الذى خلقكم من طين ثمّ قضى أجلاً وأجل مسـمى عنده ثمّ أنتم تمترون Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu. Berangkat dari ayat di atas, ajal menurut al-Thaba’thaba’i terbagi menjadi dua, yaitu الأجل المسـمى (al-ajal al-musamma, waktu tertentu) sudah tertulis di أم الكتاب (Umm al-Kitab, lauh mahfudh), dan الأجل غير المسـمى (al-ajal ghair al-musamma, waktu tidak tertentu) sudah tertulis di لوح المحوو الإثبات (lauh al-mahwi wa al-itsbāt, papan penghapusan dan penetapan). Al-ajal al-musamma bersifat mutlak (absolut), sedang al-ajal ghair al-musamma bersifat bersyarat (kondiso-nal). Bisa saja antara kedua ajal itu tidak terjadi secara bersamaan, karena al-ajal ghair al-musamma ditentukan oleh situasi kondisi yang melingkupinya. Sebagai contoh, umur seseorang tertulis umpamanya 90 (sembilan puluh) tahun. Kita ketahui bahwa seluruh isi alam semesta ini saling berkait dan berpengaruh terhadap eksistensi diri seseorang. Interaksi yang demikian kuat bisa saja menimbulkan bencana yang tidak bisa terelakkan dan mengakibatkan ajal datang menjemputnya sebelum berakhir waktu alami (sesuai dengan yang tertulis). Kematian seperti ini disebut mati sulaman. Pembagian ajal yang dilakukan al-Thaba’thaba’i di atas memberikan gam-baran bahwa segala sesuatu berjalan berdasarkan hukum Allah. Kematian dengan al-ajal ghair al-musamma tidak menafikan ketentuan dalam al-ajal al-musamma karena terjadi berdasarkan hukum Allah yang disebut hukum kausal. Sebenarnya, kita juga tidak mengetahui apakah kematian seseorang itu berda-sarkan al-ajal al-musamma atau al-ajal ghair al-musamma karena kita tidak pernah memperoleh informasi tentang itu. Pasien Dengan Mesin Pemacu Jantung Seorang pasien yang mengalami lemah jantung dengan dibantu mesin pemacu jantung, memiliki salah satu dari dua keadaan, yaitu: 1. Keadaan otaknya sehat dan berfungsi baik. Dalam keadaan ini tidak ada persoalan karena kehidupan jelas-jelas masih ada. 2. Keadaan batang otaknya sudah mati dan tidak berfungsi lagi. Dalam keadaan ini tak ubahnya seperti orang tidur berat, karena diam dan sudah tidak responsif lagi. Dalam keadaan seperti ini ditinjau dari: a. Teori maut. Pasien sudah tidak mungkin mefungsikan daya tumbuh, daya inderawi dan daya nalar yang dimilikinya. Otak merupakan organ untuk proses penginderaan dan penalaran (berfikir). Otak yang mati akan mematikan pula kerja penginderaan dan penalaran. Orang yang demikian berarti telah kehilangan kemanusiaannya karena daya nalar yang merupakan unsur utama daya jiwa telah mati. b. Teori wafat. Pasien sudah tidak memiliki hubungan bertindak dan hu-bungan pengaturan (managerial), karena pusat penggerak dan pengen-dali, yaitu otak telah disempurnakan kelumpuhannya. c. Teori tidur. Pasien akan tidur terus menerus dan tidak bisa dibangunkan karena aqlu yang merupakan salah satu daya jiwa (النفس أو الروح) sudah tidak bisa dikembalikan lagi. Nafas yang dikeluarkannya tidak labih dari hasil kerja mesin, bukan hasil kerja daya jiwa. d. Teori ajal. Ajal kematian pasien ditentukan (muqaddarah) oleh kondisi otak tersebut. Pernyataan seorang dokter yang memiliki kompetensi keilmuan di bidang syaraf otak harus diterima karena kebenaran ilmu pengetahuan tidak boleh bertentangan dengan agama. e. Hukum Islam. Akal pasien praktis tidak berfungsi. Dalam hukum Islam, seseorang dinilai sebagai mukallaf, yaitu memiliki ahliyatul ada’ (kemam-puan berbuat) dengan syarat dewasa dan berakal. Karena itu, orang ighma’ (koma atau pingsan karena sakit jantung dan otak tidak berfung-si), gugur dari kewajiban agama atau gugur sebagai mukallaf. f. Metode mashalih mursalah. Mempertahankan pasien yang sudah mati batang otaknya sama sekali tidak menguntungkan bagi dirinya dan kelu-arganya, baik kaitannya dengan agama, harta, tenaga ataupun pikiran. P e n u t u p Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pasien yang menggunakan mesin pemacu jantung sedang batang otaknya sudah mati, maka berdasarkan tinjauan obyektif dari berbagai teori dan juga berdasarkan metode mashalih mursalah bisa dinyatakan bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia. Ajal kematiannya adalah saat batang otak mati berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang berkompeten. Tetapi kalau hal itu tidak diketahui, maka ajal kemati-annya adalah saat pelepasan alat pemacu jantung oleh dokter yang berkompe-ten. Pelepasan alat tersebut tidak dihukum sebagai pembunuhan, karena pada hakikatnya yang bersangkutan sudah meninggal dengan ditandai tidak berfung-sinya keseluruhan daya yang dimilikinya, terutama daya jiwa, yaitu akal. Se-dangkan adanya nafas semata-mata karena hasil kerja mesin pemacu jantung, bukan karena roh yang bersangkutan. Hal itu terbukti ketika alat dilepas lang-sung tidak ada nafas. Akhirnya, tiada kata yang layak diucapkan kecuali beristighfar kepada Allah, أستغـفـر الله العظيم الذى لا إلـه إلاّ هو الحى القيوم وأتوب إليه. Semoga bermanfaat adanya. Amin. الحمد للــه الذي بنعمـته تتم الصـالحاتڤ Daftar Pustaka Abd.Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiyah, Baghdad: Matbaah al-‘Āni, 1969. Abd. Halim Mahmud, Al-Tafkīr al-Falsafi fi al-Islām, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Misriyah, 1968. Hamd Ubait Al-Kubaisi, Ushul al-Ahkām, Baghdad: Dār al-Huriyah, 1975. Harun Nasution, Akal dan Wahyu, Jakarta: UI Prress, 1980. Ibn Manzur, Lisān al-‘Arab, Jilid II, XI dan XV, Bairut: Dār Sader, tt. Irfan Abd. Hamid, Dirāsāt fi al-Furūq al-‘Aqā’id al-Islāmiyah, Baghdad: Dār al-Tarbiyah, 1977. Irfan Abd. Hamid, Al-Falsafah fi al-Islām, Baghdad: Dār al-Tarbiyah, 1976. Khalis Jalabi Konggo, Al-Thibb Mihrāb al-Imān, Juz I, Bairut: Mu’assasah al-Risālah, 1971. Muhammad Abduh, Tasfīr al-Manār, Juz IV dan VII, Kairo: Maktabah al-Qāhirah, 1959. Muhammad Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Shihhah, Bairut: Dār al Kutub al-‘Arabi, 1967 Muhammad ‘Athif, Muhādlarāt fi al-Falsafah al-Islāmiyah, Kairto: Institue I.S. Press, 1980. Muhammad Fuad A.Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an al-Karim, Bairut: Dār Ihyā’ al-Turāts al-Islāmi, 1945. Muhammad Husain al-Thaba’thaba’i, Al-Mizān fi Tafsīr al-Qur’ān, Juz IV, VII, VIII, X, XVII dan XIX, Bairut: Mu’assasah al-A’lami, 1991. |
Senin, 19 April 2010
AJAL KEMATIAN Khatib : Ayoeb Amin
Posted by Ocnatias Eka Saputri on 21.27 in | Comments : 0
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Posting Komentar